Tentang
:
PEMERINTAHAN YANG BERSIH
Disusun oleh :
Z Efson Sustera Irawan
Z Fardizul
Z Feri Pratama
ZHandi tri Saputra
Z Helda Susanti
Kelas :A1
Dosen Bidang
Study :
Drs. Sazili M.Pd
DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
AKADEMI FARMASI AL-FATAH BENGKULU
2014/2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT. Karena dengan
rahmat Nya lah, kami dapat menyelesaikan penulisan MAKALAH tentang “PEMERINTAHAN
YANG BERSIH DAN DEMOKRATIS ” ini.
Makalah ini
disusun dengan tujuan untuk memberi tau tentang ““PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN DEMOKRATIS ” kepada teman-teman
pembacanya supaya lbih memahaminya. Dan pada MAKALAH yang kami susun ini
terdapat beberapa pembahasan tentang“PEMERINTAHAN
YANG BERSIH DAN DEMOKRATIS ”secara lebih rinci.
Setiap pembahasan pada MAKALAH ini terdapat
keterangan beserta gambar sistem pernapasan pada manusia dan hewan .
Meskipun pembahasan pada MAKALAH ini
lbih ringkas. Di dalam MAKALAH ini masih ada tersirat konsep-konsep penting
yang dapat di jadikan pengetahuan untuk para pembacanya.
Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada Ibu Drs. Sazili M.Pd yang telah memberikan tugas ini untuk kami,
sehingga kami bisa memperoleh wawasan yang lbih luas lagi dari tugas yg bapak
berikan. Akhir kata, tiada gading yg tak
retak, demikian juga dengan MAKALAH
yang kami buat, tentunya masih jauh dari sempurna. Oleh karna itu kritik dan
saran kami harapkan dari pembaca ataupun bapak guru yang memberi tugas.
Padang harapan, 17-November-2014
penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL..........................................................................................................iv
KATA
PENGANTAR......................................................................................................2
DAFTAR
ISI......................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN
1.Latar
Belakang...................................................................................................4
2.Rumusan Masalah............................................................................................4
3.Tujuan...................................................................................................................4
BAB 2 PEMBAHASAN
1. Pemantulan Gelombang (Refleksi) .............................................................5
2. Pembiasan Gelombang (Refraksi).......................................................................6
3. Interferensi Gelombang....................................................................................7
4.
Difraksi
Gelombang.........................................................................................8
5.
Dispersi(penguraian)Gelombang..................................................................9
6.
Polarisasi Gelombang.....................................................................11
Bab 3. Penutup
Kesimpulan...........................................................................................
Saran.....................................................................................................
Daftar
Pustaka......................................................................................
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Pemerintah
yang bersih dan demokrasi merupakan sebuah keniscayaan dari berlakunya
nilai-nilai demokrasi dan masyarakat madani pada level kekuasaan negara.
Nilai-nilai masyarakat madani (civil society) tidak hanya dikembangkan dalam
masyarakat (individu,keluarga dan komonitas, tetapi juga harus dikembangkan
dalam level negara (civil state). Sehingga sistem kenegaraan yang dibangun
menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dalam perwujutan masyarakat madani
termasuk sistem pemerintahan yang bersih dan demokratis.
Dalam era menuju demokrasi indonesia
, negara yang selama ini cukup hegemonik atas kekuatan sipil (masyarakat) sudah
saatnya mengembangkan budaya demokrasi. Wacana demokrasi dan masyarakat madani
sudah cukup merata dikalangan masyarakat (LSM,sekolah,perguruan
tinggi,organisasi masyarakat dll). Wacana ini diharapkan bisa memacu perubahan
sosial ke arah yang lebih demokratis dan semakin beradap. Dengan demikian ,
bekembangnya wacana demokrasi dalam masyarakat madani perlu di respon oleh
negara dengan melakukan tranformasi sistem dan kebudayaan kenegaraan.
Sehingga negara pun antisipatif
terhadap perubahan sosial. Disinilah sinergi antara kekuatan negara dan
kekuatan sipil sangat dibutuhkan, karena keduanya memang saling membutuhkan.
2.
RUMUSAN
MASALAH
-
Bagaimana
sifat Konsef dasar pemerintahan yang bersih dan demokratis
-
Seperti
apa kesadaran masyarakat indonesia tentang pentingnya pemerintah yang bersih
dan demokratis.
-
Bagaimana
cara pengembangan sistem pemerintahan yang bersih dan demokratis.
-
Apa
saja yang menjadi pedoman dalam pemerintahan yang bersih dan demokratis.
3.
TUJUAN
-
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan konsep dasar pemerintahan yang bersih dan demokratis
-
Mampu memahami dan menjelaskan perangkat-perangkat sistem dalam pemerintahan yang bersih dan demokratis
-
Mahasiswa mampu mengembangkan kesadaran politis tentang penegakan hukum
indonesia
-
Untuk memenuhi tugas dari guru
bidang study KWN bapak Drs. Sazili M.Pd
BAB
2
PEMBAHASAN
A.
Pemerintahan Yang Bersih Dan
Demokratis Merupakan Keniscayaan Dari Demokrasi dan Masyarakat Madani Pada
Tingkat Kekuasaan Negara
1.
Pemerintahan
yang Bersih
Secara
sederhana pemerintahan yang bersih dapat dijelaskan sebagai kondisi
pemerintahan yang para pelaku yang terlibat di dalamnya menjaga diri dari
perbuatan korupsi ,kolusi , dan nepotisme (KKN). Koropsi adalah perbuatan
pejabat pemerintah mengeluarkan uang pemerintah dengan cara-cara yang tidak
legal. Sedangkan Kolusi adalah bentuk
kerja sama antara pejabat pemerintah dengan oknum lain secara ilegalpula
(melanggar hukum) untuk mendapatkan keuntungan material bagi mereka. Dan
Nepotisme adalah memanfaatkan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau
penghasilan bagi keluarganya sehingga menutup kesempatan bagi orang lain.
Sejak indonesia memasuki era
transisi menuju demokrasi di tahun 1999, citra negeri ini di dunia
internasional terpuruk. Antara tahun 1999-2003 indonesia dikenal dengan negara
tingkat korupsi terpuruk. Untuk menghilangkan semua ini maka tentu kita harus
mengindahkan nilai-nilai moralitas. Adapun sikap moral tersebut adalah
kejujuran terhadap diri sendiri dan orang lain; menjauhkan diri dari tindakan
melanggar hukum;kesediaan berkorban demi kemuliaan lembaga dan masyarakat; dan
keberanian membawa pesan-pesan moral dalam kehidupan sehari-harinya sebagai
pejabat dan politisi pemerintah.
Selain itu sudah barang tentu moralitas
politik saja tidak akan cukup untuk menegakkan pemerintah yang bersih dari
pelanggaran moralitas atau etika politik;tetapi diperlukan sebuah sistem
politik dan hukum yang egaliter dan adil untuk menopang kerangka sistemik
masyarakat madani.
2.
Sistem Demokrasi
dalam Pemerintahan
a.
Sistem
Pemerintahan Parlementer
Sistem
ini awalnya berasal dari pemerintahan inggris yang kemudian banyak menyebar
kenegara-negara lain terutama bekas jajahannya. Prinsip utama dari sistem
parlementer adalah adanya fungsi kekuasaan eksekutif dan legeslatif. Eksekutif
adalah apa yang sering kita sebut sebagai pemerintahan yang dikepalai oleh perdana mentri, dan untuk
kepala negaranya adalah ratu sebagai simbol negara. Kepala negara lah yang
mengangkat kepala pemerintahan yang merupakan ketua partai mayoritas di
parlemen.
Peran utama parlemen adalah sebagai
pemasok anggota kabinet inggris memuat hubungan antara eksekutif dan legeslatif
menjadi terfusikan. Dalam praktik fusi kedua cabang pemerintahan ini memuat
kekuasaan eksekutif relatif mendominasi lembaga legeslatif (parlemen). Oleh
karena itu dalam sistem parlementer inggris , perdana menteri setiap saat dapat
membubarkan parlemen,jika dianggap perlu, dengan meminta kepala negara (ratu)
untuk melakukannya, dengan kata lain kepala negara membubarkan pemerintahan
atas permintaan kepala pemerintahan.
“Di Inggris dan Jepang misalnya ,
politisi yang melakukan perbuatan memalukan akan segera mengundurkan diri,
Sehingga wibawa pemerintah tetap terjaga”.
b.
Sistem
Presidensial
Sistem
ini menekankan pentingnya pemilihan presiden secara langsung, sehingga presiden
terpilih mendapatkan mandat langsung dari rakyat. Bandingkan dengan sistem
parlementer dimana , dimana perdana mentri mendapatkan mandatnya tidak langsung
dari rakyat akan tetapi dari partai mayoritas di parlemen. Sistem ini berasal
dari Amerika Serikat.
Dalam sistem presidensial ,
kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan) sepenuhnya di
tangan presiden. Oleh karna itu, Presiden adalah kepala eksekutif sekaligus
kepala negara. Prinsif pokok lain dalam pemerintahan presidensiaal adalah
adanya pemisahan kekuasaan (the separation of power) antara eksekutif
(Presiden) dan legislatif (kongres).
Dalam sistem presidensial , seorang
presiden dapat menjalankan kekuasaan hingga masa jabatannya berakhir tanpa
kuatir akan diganggu oleh kongres.
Selama kebijakan presiden tidak melanggar konstitusi, ia dapat bertahan
hingga akhir masa jabatannya,walaupun dia gagal dalam berbagai sektor kegiatan
pemerintahan. Sistem presidensial melarang rangkap jabatan antara eksekutif dan
legislatif. Politisi yang duduk di kongres harus mengundurkan diri jika ingin
mencalonkan diri sebagai presiden atau menduduki kursi di kabinet.
”Apapun sistem
politik yang diterapkan , jika masyarakat masih menoleransi kekuasaan eksekutif
yang tidak terbatas, eksekutif cendrung melakukan sentralisasi kekuasaan.
Proses sentralisasi kekuasaan yang tidak terbendung akan menghasilkan sebuah
pemerintahan otoriter”.
c.
Kekuasaan
Eksekutif Terbatas
Persoalan
terbatas antara sistem parlemter dan presidensial adalah sejauh mana masyarakat
memberi batasan bagi kekuasaan eksekutif. Dalam konteks indonesia pada masa
orde baru, kekuasaan politik relatif terpusat di tangan presiden . Pemusatan
kekuasaan ini membuat presiden dapat menjalankan kebijakan sekendak hatinya
tanpa memedulikan seruan dan keritikan masyarakat yang menolak
tindakan-tindakan tersebut.
Akan tetapi kekuasaan presiden yang
tidak terbatas juga mengandung kelemahan lain , yakni lemahnya sistem pengawasan
terhadap tindakan dan prilaku politisi di pusat maupun daerah. Rezim otoriter
dengan kekuasaan eksekutif yang nyaris tak terbatas sudah barang tentu kondusif
bagi pertumbuhan budaya korupsi. Kebutuhan untuk membatasi kekuasaan eksekutif ,dengan
demikian bukan sekedar kebutuhan moral, namun lebih merupakan kebutuhan
struktural . artinya , struktur politik tidak akan berfungsi jika tidak
menyatakan bentuk kekuasaan eksekutif yang terbatas.
d.
Pemberdayaan
badan Legeslatif
Pemberdayaan
badan legislatif merupakan sebuah agenda penting lain dalam mengembangkan
pemerintahan yang bersih dan demokratis. Badan legeslatif pada rezim otoriter
pada umumnya lebih banyak memainkan peran sebagai tukang stempel saja
(rubber-stamp parliament). Badan legeslatif semacam ini sangat jarang melakukan
kritik terhadap eksekutif. Mereka lebih menerima dan mengesahkan hampir semua
usulan kebijakan pemerintah tanpa reserve.
Badan legeslatif menduduki posisi
sentral , karena anggota badan legeslatif merupakan politisi yang mendapat
mandat dari rakyat pemilih untuk mewakili kepentingan mereka. Dengan demikian
hanya badan legeslatif yang secara sah dapat melakukan fungsi pengawasan
terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah. Mereka dapat mendukung atau menolak
usulan kebijakan yang diajukan oleh pemerintah . misalnya ; Jika pemerintah mengajukan usul
untuk menaikkan BBM dan DPR menolak , pemerintah harus mengurungkan niat
tersebut.
Namun persoalan yang menyangkut
pemberdayaan legislatif adalah peningkatan profesionalisme anggota legislatif.
Dalam jangka pendek recruetment
anggota anggota legislatif sering tidak memperhatikan latar belakang pendidikan
dan pengalaman proffesional anggota sehingga siapa pun yang diusulkan partai
dapat menjadi anggota DPR tanpa melalui tahapan evaluasi terhadap calon secara
maksimal. Oleh karena itu pemberdayaan legislatif seharusnya dilakukan dengan
menjadikan lembaga legislatif yang kritis terhadap krisis emplementasi
pemerintah. Dan juga perlu mempertimbangkan upaya untuk terus meningkatkan proffesionalisasi
anggota badan legeslatif dengan mempertimbangkan pendidikan,usia, dan latar
belakang calon anggota legeslatif.
Dijerman misalnya recruitmen anggota
legislatif sejak dekade akhir abad ke 20
mulai meningkatkan persyaratan ; Usia diatas 40 tahun , berpendidikan
tinggi dengan latar belakang proffesional yang jelas ,dan memiliki pengalaman
dan keahlian yang berhubungan dengan politik. Persyaratan dimaksudkan agar
anggota badan legislatif jerman benar-benar menjadi wakil rakyat yang pro-aktif,peka
serta memiliki empati yang dalam terhadap persoalan-persoalan yang sedang
dihadapi rakyat.
3.
Sistem
Pemilihan
Sistem
pemilihan adalah cara untuk menentukan siapa politisi atau partai memenuhi
syarat untuk menduduki jabatan di badan legislatif atau eksekutif (presiden).
a.
Sistem
proporsional
Sistem
proporsional adalah sistem pemilihan yang membuka peluang bagi banyak partai
politik untuk duduk didalam pemerintahan. Sehingga ,setiap partai akan bersaing
untuk mendapatkan suara pemilihan terbanyak disetiap daerah pemilihan.
Setiap daerah pemilihan menyediakan
banyak kursi untuk diperebutkan oleh partai-partai yang ada di daerah pemilihan
tersebut. Jika jumlah partai pemilihan cukup banyak, biasanya akan muncul cukup
banyak pula yang dapat mengumpulkan suara terbanyak pemilih. Perolehan kursi masing-masing
partai dihitung sesuai dengan proporsi perolehan suaranya. Dengan kata lain
sistem proporsional merupakan sistem untuk memelihara sistem multi partai.
b.
Sistem
Distrik
Adalah
sistem pemilihan dimana setiap daerah pemilihan disebut sebagai distrik. Dalam
distrik hanya terdapat satu kursi untuk diperebutkan. Distrik adalah bagian
dari sebuah negara bagian provinsi. Jumlah distrik dalam negara bagian atau
provinsi tergantung dari banyak sedikitnya jumlah penduduk. Dalam sistem
distrik setiap calon harus mendapatkan suara paling banyak untuk mendapatkan
kursi di distrik tersebut.
c.
Sistem
Multiple-distrik
Jepang
yang memiliki banyak partai menerapkan sistem distrik yang dimodifikasi,
sehingga dikenal sebagai sistem multiple-distrik. Dalam sistem ini, setiap
distrik terdiri lebih dari satu kursi yang diperebutkan, Sehingga akan ada
lebih dari satu partai yang akan mendapatkan kursi di distrik yang
bersangkutan.
4.
Sistem
Kepartaian
Sistem
kepartaian memainkan peran dalam pengembangan sistem politik yang demokratis .
Sistem partai ditentukan oleh sejarah politik negara yang bersangkutan. Sejarah-sejarah
politik suatu negara akan turut menentukan sistem kepartaian di negara
tersebut. Negara-negara eropa, misalnya; pada umumnya menerapkan sistem
multi-partai , sedangkan amerika justru lebih condong pada sistem dua-partai .
negara demokrasi baru lebih cenderung pada sistem multi-partai yang lebih
longgar.
a.
Sistem
dua-partai
Dikenal
karena berkembang di negara demokrasi terkemuka, yakni inggris dan amerika.
Sistem dua-partai berpendapat bahwa sistem ini memungkinkan satu partai
memfokuskan diri pada kebijakan partai yang bersangkutan. Mereka menolak sistem
multi-partai karena masing-masing partai harus mendapat kesepakatan dalam
menjalankan kebijakan pemerintah.
Sistem dua-partai juga memudahkan
partai pemenang pemilu. Sebab, segera setelah sebuah partai memenangkan
pemilihan , dengan sendirinya program partai pemenang pemilu dapat diterapkan
secara langsung menjadi program pemerintah.
b.
Sistem
multi-partai
Dalam
sistem multi-partai yang berkuasa bisa lebih dari satu partai, dua partai, atau
bisa pula lebih dari dua partai politik. Sistem multipartai sering dianggap
sumber inhabilitas politik, karena kabinet sulit menjalankan agenda
pemerintahan yang terdiri dari banyak partai politik. Namun, demikian,
penelitian mutakhir menunjukkan bahawa pengalaman sistem multi-partai dieropa
membuktikan tiadanya kesulitan bagi sistem multi partai untuk mengembangkan
sebuah sistem demokrasi yang stabil dan produktif.
Bagi indonesia dengan tingkat
heteregenitas yang tinggi, mustahil menghapus gejala multi-partaisme yang
sedang tumbuh pesat saat ini. Hal ini disebabkan:
J.
Pertama , gerakan reformasi telah menjadikan indonesia menjadi ladang subur
bagi pertumbuhan partai-partai baru karena, dihilangkannya berbagai
hambatan untuk mendirikan partai baru.
J.
Kedua, gerakan reformasi juga kondusif bagi tokoh yang komonitas yang tidak
puas dengan partai-partai yang ada untuk membentuk partai baru.
J.
Ketiga, prospek pemilihan presiden langsung merupakan dorongan-dorongan yang
sangat kuat bagi partai – partai baru untuk tumbuh.
c. fragmentasi Partai
Pertumbuhan
sistem menimbulkan permasalahan serius, yakni fragmentasi partai. Banyaknya partai
politik ternyata memang benar menyulitkan pemerintah demokrasi baru dalam
menjalankan pemerintahan mereka . krisis politik yang tumbuh akibat konflik
antar partai di eksekutif menumbuhkan gejala baru berupa ketidakmampuan
memerintah. Para pengamat partai
menyebutkan bahwa kondisi partai partai politik belum sepenuhnya
terlembaga. Dalam kondisi belum
terlembaga, sudah tentu perilaku partai menjadi sulit diprediksi. Keputusan elit
partai seringkali terjadi secara mendadak dan tidak selalu sejalan dengan
prinsip-prinsip demokrasi.
d. Budaya Koalisi
Persoalan lain
yang tumbuh dan menjadi persoalan adalah
tak adanya budaya koalisi di negara-negara demokrasi baru. Jalan termuda bagi
partai untuk berkuasa adalah dengan membentuk koalisi dengan parti lain. Persoalanya
adalah bahwa koalisi-koalisi yang dibentuk pada awal pemerintahan demokrasi
pada umumnya didasari oleh pertimbangan
pragmatis yang sangat kuat. Di negara-negara yang baru mengalami demokrasi ,
pragmatisme dalam membangun koalisi diantara partai politik untuk berkuasa
seringkali mengabaikan prinsip-prinsip itu sendiri. Pragmatisme membuat
partai-partai bersedia bergabung dengan partai mana pun, asalkan mereka dapat
membentuk pemerintahan yang menguntungkan mereka.
e. Budaya Oposisi
Persoalan lain lagi
yang muncul dari sistem multi partai dalam tahap perkembangan adalah kesulitan
membangun budaya oposisi. Keengganan masing-masing partai untuk menjadi partai
oposisi merupakan penghalang bagi pertumbuhan budaya oposisi yang sangat diperlukan bagi bekerjanya sistem
demokrasi. Keinginan setiap partai untuk selalu duduk dalam kabinet merupakan
isyarat ketidaksiapan partai politik untuk membangun budaya oposisi. Keengganan
membangun budaya oposisi dengan penuh kesadaran akan makna strategis oposisi menjadikan partai itu
sendiri sebagai penghalang bagi proses demokratisi. Proses demokrasi ke depan,
dengan demikian akan sangat ditentukan oleh kesedian partai politik untuk:
1.
Mengurangi pragmatisme vulgar dalam membentuk koalisi,
sehingga partai diharapkan selektif dalam memilih anggota koalisi
2.
Kesediaan
menjadi partai oposisi dengan penuh
kejujuran, bila tidak memiliki kesepahaman dengan partai lain, sebagai bentuk
pernyataan kritis terhdap partai yang berlainan agendanya.
Dengan kata
lain, dapatlah diasumsikan secara terbalik, bahwa jika budaya oposisi tumbuh
pesat, maka akan muncul partai oposisi yang kritis terhadap bentuk-bentuk
penyimpangan hukum yang dilaukan partai berkuasa. Kondisi ini yang akan
membantu menciptakan pemerintahan yang bersih dan demokratis.
5.
Peranan
Oorganisasi Non-Partai
Organisasi
non-partai adalah organisasi yang tidak menjadikan perebutan jabatan publik
sebagai tujuan utama mereka. Organisasi ini antara lain adalah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, lembaga riset, organisasi kemasyarakatan
(ORMAS), dan kelompok kepentingan lain. Pragmatisme partai politik bisa
menyebabkan involusi kepemimpinan ketika berkuasa, yaitu sebuah kepemimpinan
politik yang hanya berpikir tentang kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
Oleh karenanya peran organisasi non-partai sangat diperlukan untuk mendorong
kritisme masyarakat terhadap kepemimpinan partai politik yang berkuasa.
Organisasi non-partai inilah yang menjadi
salah satu ujung tombak
perjuangan untuk membangun pemerintahan yang bersih dan demokratis di masa
depan. Secara organasional, mereka lebih ramping dan ditopang oleh tenaga
profesional. Kelebihan ini membuat organisasi non-partai mampu bekerja lebih
efektif dalam melakukan pengawasan terhadap pejabat dan kebijakan yang
dihasilkan. Secara keseluruhan, kelompok-kelompok di luar partai inilah yang
masih dapat diandalkan sebagai unsur penguat upaya pembentukan pemerintahan
yang bersih dan demokratis. Organisasi
non-partai dapat setiap saat menyampaikan program dan langsung meleksanakan
program tersebut. Kemudahan ini membuat organisasi non-partai lebih cepat menjalankan kegiatan
mereka dibanding partai politik di DPR yang terkait oleh berbagai aturan dan
kepentingan. Peran utama organisasi non-partai politik dalam mengawal demokrasi
terletak dalam penguatan kesadaran publik tentang jalannya pemerintahan. Aktivitas organisasi
non-partai, dengan demikian berfungsi
sebagai penyimbang terhadap kecenderungan konservatisme partai yang berpotensi
memperlambat proses reformasi politik.
6.
Media
Masa
Media
massa memainkan peran yang cukup besar dalam demokrasi, karena ia mampu
melakukan pendidikan politik rakyat dengan menumbuhkan kesadaran kritis
masyarakat melalui berbagai informasi yang disajikan. Peran yang dimainkan
media massa ini diharapkan justru akan
memperkuat masyarakat dan sekaligus menciptakan lembaga-lembaga pemerintah yang
kuat, terbuka, dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Keterbukaan membuka
peluang munculnya berbagai alternatif pemikiran untuk merumuskan agenda publik
dan mencari solusi terbaik bagi persoalan pemerintah.
7.
Anti-Koropsi
Dalam
mewujudkan pemerintah yang bersih dan demokratis, gagasan anti-korupsi
merupakan tema yang sangat penting untuk dikembangkan dalam era menuju
demokrasi di indonesia. Istilah
“korupsi” mewakili dan meliputi
dua konsep lain yang berdampingan, yaitu kolusi dan nepotisme. Dalam pengertian
yang umum, korupsi adalah bagian atau penyisahan suatu standar yang seharusnya
ditegakkan. Secara sempit, korupsi
diartikan pengabaian standar prilaku tertentu oleh pihak yang berwenang demi
memenuhi kebutuhannya sendiri. Korupsi bisa terjadi dimana saja, baik dunia
swasta ataupun negara. Di Indonesia, fenomena korupsi muncul dalam dua bentuk,
yaitu state capture dan korupsi
administratif. State capture adalah aksi-aksi ilegal oleh perusahaan ataupun
individu untuk mempengaruhi penyusunan hukum, kebijakan, dan peraturan demi
keuntungan mereka sendiri. Korupsi administratif adalah pemberlakuan secara
sengaja (baik oleh negara maupun perlaku non-negara) untuk mendistrosi hukum,
kebijakan, dan peraturan yang ada demi keuntungan pribadi. Hasil survei
internasional maupun regional tentang korupsi menunjukan bahwa indonesia
merupakan negara dengan angka korupsi yang parah. Survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC), misalnya menempatkan tingkat korupsi
di indonesia pada urutan 12 dari 12 negara Asia yang disurvei. Menurut survei
yang dilakukan oleh The Transparency
International terhadap 99
negara di dunia, indonesia merupakan negara ketiga yang paling korup.
Indonesia yang peringkatnya sama dengan Azerbaijan dan hanya lebih baik dari
Nigeria dan Kamerun (Kompas, 22 Juli 2000). Korupsi di Indonesia telah menyatu
dengan sistem kehidupan masyarakat. Penyimpangan ini meliputi wilayah-wilayah sebagai berikut:
1.
Wilayah
penegakan hukum: berupa
keadilan yang diperdagangkan; rendahnya anggran pengadilan; campur tangan
politik; dan lemahnya yurisdiksi.
2.
Wilayah bisnis: berupa campur
tangan politik; manajemen yang buruk; dan kekebalan hukum pada
perusahaan-perusahaan besar.
3. Willayah partai politik: berupa
sumbangan yang tidak terpantau: memeras uang dari pelaku bisnis; dan tidak ada
nya ke bijakan apa pun dari partai berkenaan dengan hal-hal yang berpeluang
terjadi distrosi.
4.
Wilayah
kepegawaian : meliputi patronase dan nepotisme; skala
gaji yang kacau; kelebihan pegawai; dan jual beli posisi.
5.
Wilayah
lembaga legistatip: meliputi anggota DPR menerima suap:
anggotaDPR tidak punya kode etik; anggota DPR tidak punya pemilih; dan tidak
adanya pengawasan terhadap anggota DPR.
6.
Wilayah
kelompok sipil: berupa campur tangan politik; modalitas
yayasan di gunakan dengan curang; dan LSM “plat merah” atau LSM non-sipil.
7.
Wilayah
pemerintah daerah: berupa warisan korupsi dari pemerintah
pusat; eksekutip menyuap legistatip; dan DPRD yang tidak dapat melakukan
supervise kepada eksekutip.
8.
Wilayah
sikap dan perilaku: berupah kelemahan dalam pelaksaan
standar-standar etika; toleransi terhadap pelaku illegal; penerimaan terhadap
orang atau institusi yang kebal hukum; dan kelemahan dalam menjalankan
kekuasaa.
9.
Wilayah
lain yang juga menjadi lahan korupsi: adalah manajemen SDM,
manajemen pengeluaran public, manajemen tata peraturan, dan wilayah audit
public seperti badan pemeriksa keuangan (BPK) atau lembaga audit lain.
8. Kepastian Hukum
Adanya system
pemerintahan yang baik tak akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang bersih
dan demokratis bila tak ada jaminan hukum yang tegas dan tidak
memihak.kasus-kasus KKN pada masa transisi menuju demokrasi sering terhalang
oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang tercemar oleh gejalah KKN itu sendiri.
Berbagai kasus
KKN di Negara demokrasi baru sering tidak dapat diselsaikan dengan tuntas
karena tidak adanya kepastian hukum.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa tindakan-tindakan melanggar hukum yang
di lakukuan oleh warga yang berstatus social-ekonomi rndah bisasnya
diselesaikan dengan menerapkan sanksi berat bagi pelakunya. Namun, ketika
penegak keadilan berhadapan dengan
pelanggar hukum yang menyandang status social-ekonomi yang kuat atau memduduki
jabatan di pemerintahan, keadilan seringkali menjadi murah harganya. Dengan
kata lain, mereka yang mampu membeli keadilan pada umumnya selalu dapat
memenangkan perkara yang sedang di hadapinya. Semantara itu, orang-orang miskin
dan lemah pada umumnya sulit mendapatkan perlindungan hukum,sehingga mereka
rentan terhadap tekanan dan rekayasa hukum.
Ketidakpastian
hukum di Negara transisi merupakan factor penghambat utama dari upayah
menciptakan pemerintahan yang bersih dan demokratis. Para penegak hukum yang
mudah tergoda oleh insentif materi dalam jumlah yang melimpah meyebabkan mereka
tidak peka terhadap tuntutan keadilan yang sangat sering diseruhkan public.
Perilaku anti-hukum para penegak hukum sendiri dan kelemahan control terhadap
lembaga yudikatif meyebabkan para penegak hukum leluasa berdiri di atsa hukum. Mereka memerlukan
ketentuan-ketentuan hukum sesuai dengan kepentingan mereka sendiri maupun
kelompoknya. Dengan kata lain, keadilan seringkali dikrobankan demi kepentingan
jangka pendek mereka.
Contoh yang bias
dikemukakan di sini ialah susahnya menggiringi para perwira militer yang di
duga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di berbagai daerah ke
pengadialan. Contoh lain ialah sulitnya meyelesaikan kasus korupsi yang di
lakukan para pejabat Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Berbagai tindakan yang dapat di katagorikan korupsi
oleh para politisi pusat maupun daerah sangat sulit di perkarakan. Penegak hukum
seperti tidak memiliki kemampuan menjalankan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku.
Ketidakpastian
hukum ini tentu mempersulit upaya untuk mengembangkan pemerintahan bersih dan
demokratis yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesamaan warga di depan
hukum. Dalam kenyataan, maling ayam seringkali mendapan hukuman berbulan-bulan,
sementara para koruptor dapat menikmati kehidupan di alam bebas tanpa khawatir
di tangkap penegak hukum. Sebaliknya,
kondisi ini menjadi salah satu penghalang utama proses pengembangan tersebut.
NEGARA HUKUM DALAM KONTEKS DEMOKRASI
ADALAH TEWUJUDNYA PEMERINTAHAN DAN APARAT NEGARA YANG TUNDUK PADA HUKUM. RULE
OF LAW MENJADI SANGAT FUNDAMENTAL BAGI PROSES PENGEMBANGAN PEMERINTAHAN YANG
BERSIH DAN DEMOKRATIS, KARENA HANYA DALAM KONDISI KEPASTIAN HUKUMANLAH
DIMUNGKINKAN TERBENTUKNYA SISTEM YANG TERBUKA.
Kebutuhan akan rechtstaat atau Negara hukum menjadi
suatu keniscayaan yang sangat mendesak. Negara hukum dalam konteks demokrasi
adalah terwujudnya pemerintahan dan aparat Negara yang tunduk pada hukum.
RECHTSTAAT adalah sebuh keniscayaan bagi Negara
demokrasi. Karenanya, ketertundukan pada hukum menjadi hal yang sangat
fundamental dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan demokrsai.
9.
Otonomi
Daerah
Otonomi daerah
bagi sebagian besar masyrakat dan juga para pejabat pemerintah, baik di pusat
maupun daerah, masih merupakan persoalan yang tidak mudah untuk dijalankan.
Sedikitnya pengalaman masyarakat dan pemerintah dalam menjalankan ketentuan
undang-undang tentang otonomi daerah menjadi kendalah utama implementasi
kebijakan tersebut. Di berbagai daerah timbul persoalan-persoalan yang
merupakan warisan rezim lama maupun persoalan baru yang ditimbulkan oleh
keraguan tentang apa sesungguhnya otonomi daerah.
Sebagai contoh,
konflik politik di daerah sebagai akibat dari pemilihan kepalah daerah
seringkali menyeret kepentingan pusat dan daerah kedalam situasi konflik yang
merugikan semangat pengembangan otonomi di daerah yang bersangkutan. Bagi orang
di daerah,
Visi kebijakan otonomi daerah dirumuskan
dalam tiga ruang lingkup utama, yakni politik, ekonomi, dan social-budaya.
Dalam bidang
politik otonomi daerah dimaksudkan sebagai proses lahirnya kader-kader pimpinan
daerah yang di pilih secara demokrasi; dapat berlangsungnya peyelenggaraan
pemerintahan yang responsive terhadap aspirasi masyarakat banyak; dan adanya
transparansi kebijakan dan adanya kemampuan memelihara mekanisme pengambilan
keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban public.
Dalam bidang
ekonomi, otonomi daerah diharapkan mampu menjamin pelaksanaan kebijakan ekonomi
nasional di daerah, dan terbentuk nya peluang bagi pemerintahan daerah untuk
mengembangkan kebijakan regional dan local dalam mendayagunakan potensi ekonomi
di daerah nya.
Dalam bidang
social budaya, karena hampir setiap elemen masyarakat dan daerah memiliki
nilai-nilai cultural-lokal, melalui otonomi daerah diharapkan terjadinya
simbiosis mutualisme antara khazana local dan nilai-nilai universal yang mampu
mejadi penyangga dan pendorong dinamika local maupun harmoni social dalam
merespon setiap perkembangan zaman.
Berdasarkan pada
visi tersebut, konsep otonomi daerah (berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU
No. 25 tahun 1999) meliputi beberapa hal sebagai berikut.
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan
dalam hubungan domestic kepada daerah. Kecuali kewenangan bidang keuangan dan
moneter,politik luar negeri,peradilan,pertahanan, keagamaan, dan beberapa
kebijakan pemerintahan yang bersifat nasiaonal, pada dasarnya semua bidang
pemerintahan lainnya dapat didesentralisasikan.
2. Pembangunan
tradisi politik yang sejalan dengan kultur local demi menjamin tampilnya
kepemimpinan dan pemerintahan yang berkulitas tinggi dengan tingkat
akseptabilitas masyarakat yang tinggi pula.
3. Peningkatan
efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutip melalui pembenahan organisasi dan
institusi yang di miliki sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah
didesentralisasikan.
4. Peningkatan
efisiensi administrasi keuangan daerah; pengaturan yang lebih jelas terhadap
sumber-sumber pendapatan Negara dan daerah; pembagian pendapatan (revenue) dari
sumber penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan alam; pajak dan retribusi; dan
tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
5. Pembinaan
dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai local yang kondusif terhadap
upaya pemeliharaan dinamika social sebagai suatu bangsa.
Semua orang saat
ini, baik politisi, pengambilan,kebijakan akademisi, dan orang awam
membicarakan demokrasi dalam rangka mejuju masa depan peradaban politik yang
lebih manusiawi. Tak terkecuali ialah PEMERINTAHAN.
BAB 3
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Gelombang didefinisikan sebagai energi getaran yang merambat.
Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang berfikir bahwa yang merambat dalam
gelombang adalah getarannya atau partikelnya, hal ini sedikit tidak benar
karena yang merambat dalam gelombang adalah energi yang dipunyai getaran
tersebut.
Gejala gelombang dapat dibagi mengadi beberapa bagian adalah sebagai
berukut :
1.
Pemantulan gelombang, yaitu sudut pantul sama dengan sudut datang.
2.
Pembiasan gelombang adalah pembelokan arah muka gelombang ketika
masuk dari satu medium ke medium lainnya.
3.
Intrferensi gelombang adalah perpaduan atau superposisi gelombang ketika
dua gelombang atau lebih tiba di tempat yang sama pada saat yang sama.
4.
Difraksi gelombang adalah peristiwa pembelokan gelombang ketika
melewati celah sempit atau penghalang.
B. SARAN
Adapun saran kami
sebagai penulis adalah sebagi berikut :
1.
Diharapkan pada pembaca dapa memberikan kritikdan saran
membangun bagi penulis.
2.
Kritik dan saran kepada pembaca apabila ada kekurangan didalam makalah kami
demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Diamond, lary. 1996
“is the third wave over”
Dalam journal
Democracy (juli 1996)
Gaffar, afan.1999.
Politik
Indonesia transisi menuju demokrasi.
Yogyakarta:
lapera pustaka utama
Kuper, adam dan kuper, Jessica,2000.
Ensiklopedi
ilmu-ilmu social. (terjemahan oleh Haris munandar).
Jakarta:
grafindo persada
Linz, juan dan Alfred Stepan.1996.
“Toward
consolidate Democracies”.
Dalam journal of
Democracy
Holloway, Richard.2002.
Memecah Belenggu
korupsi Sistemik.
Kemitraan bagi
pembaruaan tata pemerintahan di Indonesia.
siip son
BalasHapuskeren son
BalasHapussiipp
BalasHapussips......
BalasHapuskeren
BalasHapuslike
BalasHapusgood
BalasHapusmantap
BalasHapusok..good
BalasHapus